Minggu, 29 Maret 2009

Mencari Memori Yang Terlupakan (I)

Pernahkah kita berpikir, atas sebab-akibat apa kita sampai berada di titik sekarang ini?
Kadang kita terlalu disibukkan oleh hal-hal rutin yang telah menghiasi setiap detik kehidupan yang sedang kita jalani. Kemudian kita larut dalam masalah-masalah yang timbul. Padahal, (mungkin) hampir semua hal yang ada pada diri kita, yang kita (rasa) miliki saat ini, adalah hasil jerih payah hukum sebab akibat? Hal yang sudah terlalu biasa kita pahami harus kita yakini semenjak kecil.

Lalu kemudian, muncul pertanyaan tentang hukum sebab-akibat, atau biasa disebut dengan hukum alam. Darimana ia berasal?

Manusia selalu berusaha mencari berbagai penjelasan logis dari segala kejadian-kejadian yang telah, sedang dan mungkin akan dialami. Sejak lahir, kita sudah diajari untuk menghubungkan efek tertentu dengan sebab tertentu. Alasan sebenarnya mengapa kita mempersepsikan kejadian-kejadian alam sebagai sebab akibat, adalah karena Allah menciptakan sekuel dari kejadian-kejadian tersebut.

Sebenarnya hukum alam ini hanyalah sebuah nama yang diberikan untuk sebuah proses kreasi yang berurutan. Sebagai contoh, karena kapal selalu diciptakan sedang berlayar di atas lautan, maka kita bicarakan tentang kapasitas air untuk membuat benda-benda mengapung.

Dan atas segala sesuatu yang (sedikit) mampu kita pahami detil logis penjelasan tentang hukum sebab akibatnya, pada akhirnya akan sampai pada: semua yang terjadi di dunia ini adalah karena kehendak Allah. Contoh sederhananya begini ketika kita terpeleset dan kemudian terjerembab dengan sukses. Maka ‘tidak benar’ jika kita mengira kita jatuh karena terpeleset. Yang benar adalah lita sudah ditakdirkan untuk jatuh. Soal ‘terpeleset’, itu hanya rangkaian kejadian lain yang diciptakan oleh Allah agar ‘jatuh’ menjadi tampak logis.

Lalu bagaimana jika kejadiannya begini. Saat kita terpeleset, kita tidak jatuh, karena sempat berpegangan pada ujung meja. Apakah usaha untuk menggapai meja agar tidak jatuh juga adalah takdir? Jika memang itu takdir semata, berarti kita tak punya hak sama sekali untuk berlaku di luar kehendak-Nya.

Dalam paham Jabariyah, sekaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Ada korelasi antara paham Jabariah dengan pemahaman di atas (kutipan Harun Yahya). Keduanya sama-sama mengembalikan kepada takdir dan keputusan Allah sebagai pencipta segala sesuatu. Konsekuensinya tentu saja, baik buruk perbuatan seseorang adalah takdir dan kehendakNya semata.

Lalu bagaimana dengan konsep Surga dan Neraka sebagai imbalan perbuatan manusia? Pantaskah manusia dihukum atau diberi imbalan lantaran kejahatan dan kebaikan yang dilakukan diluar kendalinya sebagai seorang mahluk. Bukankah ini sama saja dengan menyalahkan Allah atas kejahatan yang kita perbuat. Lalu pantaskah kita mendapat imbalan dari kebaikan yang lagi-lagi juga merupakan perbuatan yang sejatinya bukan ‘kehendak’ kita?