Sabtu, 20 Desember 2008

Pecahan I "Serpihan Kaca"

Pagi – Siang – Sore – Malam
30 Juli 2006
Meja kamar brainwash RBJ di tengahnya …… megah nan hijau
With nothing

Pagi,..membelalakkan mata setelah gagal berusaha untuk tidur di malam harinya atau masih berhiaskan mimpi karena terlalu dini beranjak tidur. Dini hari… Sementara cahaya matahari pagi seolah ikut membantu memberikan semangat dan pepohonan menghembuskan nafas segarnya ke dalam sel-sel tubuh, berusaha menyadarrkanku untuk menatap realitas yang terlalu nyata namun samar tertutup kabut.
Dan Aku masih di sini…
Teman-Kawan-Sahabat dan Saudara (dibaca jamak) ku satu persatu mulai beranjak diri melangkah mencari ke/penghidupan dan mencari apa yang mereka cari. Hanya satu yang ingin dan belum semua sempat kutitipkan di kehidupan baru mereka. Jangan pernah pupuskan idealisme tentang falsafah keyakinan dan kebenaran sejati hanya karena materi sesuatu yang tidak abadi. Terutama kutitipkan pesan ini kepada diriku yang saat ini sedang mendominasi tubuh fana ini. Mungkin kita tidak akan pernah lagi benar-benar “bertemu” tapi yakinkanlah kepada diri masing-masing aku akan berusaha untuk berkembang dalam stagnasi ruang semesta absurd ini. Sebatang rokok sepertinya bakal terasa begitu nikmat dihisap saat ini supaya segala rasio dan perasaan yang telah kukubur dengan kemunafikan akademis ini bisa bangkit kembali. Bangkitlah…
Dan Aku masih di sini…
Mengasyikkan juga menyaksikan mereka tumbuh berkembang. Ada haru bahagia menyertai kepergian mereka meski tak pernah terucapkan. Mungkin di suatu saat nanti, di pertemuan selanjutnya, bila masih ada waktu akan banyak kenangan yang bakal membangkitkan memori itu untuk diceritakan sebagai latar belakang kesamaan sejarah yang mampu menjadi kekuatan di masa depan. Untuk sama-sama mencaci dan menyumpahserapahi segala sesuatu yang melandasi aktivitas-aktivitas itu. Lalu meledakkan tawa bersama-sama dan mencerahkan diri masing-masing.
Atas kenyataan itu, pada akhirnya tidak ada sesuatu yang tidak perlu untuk dilakukan. Meski suatu saat hanya kesia-siaan saja yang didapatkan. Jangan pernah berhenti! Meski kesalahan dan keburukan konsekuensi dan jalannya. Meski titik darah karena sudah keringnya keringat mengucur deras dari pori-pori tubuh. Selama masih ada sedikit oksigen yang masuk ke dalam tubuh, meskipun paru-paru makin menghitam dan tulang makin keropos, darah tetap akan dipacu untuk mengaliri setiap jengkal ruang-ruang makna atas kepuasan dari sebuah proses pembelajaran yang tidak pernah ada habisnya.

31 Juli 2006
Meja 3T di atas bantal
Ditemani kopi, teh, rokok dan semilir angin

Mandi selalu terasa begitu nikmat di tempat ini, apalagi jika sudah lebih dari dua hari tak mandi. Itulah salah satu kelemahan tubuh manusia. Meskipun mampu berlari secepat-cepatnya, menghisap rokok sebungkus-bungkusnya tapi tetap pada akhirnya akan musnah menjadi bangkai berbaur dengan tanah, atau air jika dibuang ke laut, …. Angin, Air, Tanah, Api, empat unsur yang mampu membentuk/dibentuk menjadi kesatuan ekuivalen keseimbangan abadi. Hanya satu yang mampu mempersatukannya. Menata dan memandatkan kesebangunan ruang tak bertempat, tak berwaktu, atau terlalu berwaktu dan terlalu bertempat. Lalu untuk apa mandi, jika setelah itu kotoran tetap akan melekat di tubuh. Untuk apa makan-minum, jika lapar dan haus selalu menjadi teman sejati yang menemani perjalanan keseharian kita? Bukan skeptisme yang dibangun, tapi penggalian detil-detil makna di setiap lorong fisik-materi yang mampu menyibakkan tirai yang melingkupi diri inilah yang perlu dipahami. Dan atas itu Tuhan telah mensyariatkan segala detil aktivitas yang butuh kita lakukan dalam hitungan tanpa waktu, atau jika boleh diukur dalam setiap satuan nanodetik kehidupan yang kita jalani.

Segarnya guyuran air ampu melepaskan kotoran yang melekat di tubuh dan di sela-sela pori membawa nuansa bening di otak dan jiwa bahkan yang nyaris sekarat sekalipun. Letih tak berkesudahan, perih yang menusuk sampai ke dasar jiwa, dan lemah yang tersembunyi di penjara hati akan luntur dan luruh ke saluran pembuangan, bersenyawa dengan tanah, diserap tanaman yang buahnya kita makan, sisanya terkondensasi membentuk awanlalu turun sebagai air hujan. Proses pemurnian yang tak berkesudahanpun dilakukan melalui mekanisme alam. Tak pernah bosan. Lau kita?

Mulailah mengepakkan sayap dan mengembangkan kilau pancaran diri, meski meniti jalan setapak di pinggir jurang terjal. Bila istana di ujung penantian yang menghadang, takkan pernah asa menghilang.

Karena Aku masih di sini…

Siang Hari___ Jadilah seperti singa lapar.
Hawa duniawi mengalir deras di setiap persimpangan. Jangan hirup terlalu dalam, bisa memabukkan nanti, entah kapan sadar. Saringlah terlebih dahulu dengan merasakan dan meyakini selalu ada sesuatu yang suci di setiap putaran waktu, di setiap kebisingan dan kesibukkan, di tengah terik sinar mentari.

Yakinkan pada keraguan yang hinggap di jiwa bahwa atas setitik usaha pencapaian itu, akan ada penghargaan yang menanti. Penghargaan atas rasa haus merasakan air kepuasan pembelajaran dan kerinduan. Sebuah persembahan suci hanya ditujukan kepada jiwa murni yang bersih dari baik dan buruk dan yang bebas dari tulus dan pamrih.

Padahal dengan sedikit goresan tinta saja, tulisan akan menjadi berarti di kemudian hari. Tulisan mungkin tetap menjadi tulisan yang suatu saat akan luntur dan kusam, bahkan menjadi serpihan bila rayap menggerogotinya. Tapi ini mampu menumbuhkan semangat. Dengannya pula kita mampu mengurai benang-benang kusut di kepala. Terkadang dibutuhkan keberadaan orang lain untuk memahami siapa sebenarnya diri ini. Meski siapapun tidak akan tetap bersama berjalan mengisi setiap hari yang terlewati. Merasa kehilangan sudah menjadi hal yang biasa, tapi dengannyalah kita belajar memahami semangat yang ditumbuhkan dari kerinduan yang ditinggalkannya. Jika benar demikian adanya, maka musnahkanlah apa yang pernah ada, apa yang pernah terjadi, apa yang pernah diraih. Jangan sisakan! Dan setelah dipahami dengan penuh keyakinan seperti apa yang dikatakan bencana-bencana itu, masih belum cukupkah?..
Kepada Siapa Kita Akan Kembali…
Pulang.

Sore Hari…
Beristirahat sejenak, melepas lelah, memikirkan kembali, dan mengkalibrasi pikiran dan hati untuk berjalan pada poros yang telah ditetapkan. Yang pernah kita janjikan. Meski akhirnya segala untaian tali impian putus di tengah jalan, seolah tak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan, pada akhirnya di titik akhir itu kita harus mulai mengais kembali sisa impian dan menata cermin-cermin retak berdebu. Di penghujung senja… Mentari memerah, padahal ia tetap seperti itu. Tak berubah sampai masanya tiba nanti. Hanya kita yang belum mampu memahaminya. Tertipu mata sendiri. Sesuatu yang begitu terlalu nyatanya justru tidak pernah kita lihat, dengar dan rasakan. Belum…

Aku Selalu di sini…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar